POLIOMYELITIS
Disusun Oleh :
SARAH FEBRIANA ELEUJAAN 1110118
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Poliomyelitis berasal dari kata
Yunani, polio berarti abu-abu, yang myelon yang bersifat saraf perifer, sering
juga disebut paralis infatil. Poliomielitis atau sering disebut polio. Sejarah
penyakit ini diketahui dengan ditemukannya gambaran seorang anak yang berjalan
dengan tongkat dimana sebalah kiri mengecil pada lukisan artefak Mesir Kuno
tahun 1403-1365 sebelum masehi. Polio adalah suatu penyakit yang disebabkan
oleh virus polio yang dapat mengakibatkan terjadinya kelumpuhan yang permanen. Gejala
awal dari penyakit ini biasanya terjadi selama 1-4 hari, yang kemudian
menghilang. Gejala lain yang bisa muncul adalah nyeri tenggorokan, rasa tidak
enak di perut, demam ringan, lemas, dan nyeri kepala ringan. Gejala klinis yang
mengarahkan pada kecurigaan serangan virus polio adalah adanya demam dan
kelumpuhan akut. Kaki biasanya lemas tanpa gangguan saraf perasa. Kelumpuhan
biasanya terjadi pada tungkai bawah, asimetris, dan dapat menetap selamanya
yang bisa disertai gejala nyeri kepala dan muntah. Biasanya terdapat kekakuan
pada leher dan punggung setelah 24 jam. Kelumpuhan sifatnya mendadak dan layuh,
sehingga sering dihubungkan dengan lumpuh layuh akut (AFP, acute flaccid
paralysis), biasanya menyerang satu tungkai, lemas sampai tidak ada gerakan.
Otot bisa mengecil, reflex fisiologi dan reflex patologis negative.
Penyakit polio pertama terjadi di
Eropa pada abad ke-18, dan menyebar ke Amerika Serikat beberapa tahun kemudian.
Penyakit polio juga menyebar ke negara maju belahan bumi utara yang bermusim
panas. Polio tersebar di seluruh dunia terutama di Asia Selatan, Asia Tenggara,
dan Afrika. Bayi dan anak adalah golongan usia yang sering terserang polio.
Penderita polio sebanyak 70-80% di daerah endemik adalah anak berusia kurang
dari 3 tahun, dan 80-90% adalah balita. Kelompok yang rentan tertular adalah
anak yang tidak di imunisasi, kelompok minoritas, para pendatang musiman, dan
anak-anak yang tidak terdaftar.
Pada abad ke 20 melihat kemajuan substansial,
Otto Wickman (1905)
pertama kali mengakui bahwa poliomyelitis adalah penyakit
menular. Pada penemuan selanjutnya tahun 1909 Landsteiner dan Popper
membuktikan penyakit
poliomyelitis menular ke monyet,
dan Satu
tahun kemudian
Flexner dan Lewis
menunjukkan
bahwa
antibodi polio
serum dapat menyembuhkan monyet, selanjutnya
Netter dengan Levaditi
menunjukkan antibodi pada manusia. Di Boston,
John Franklin Enders,
Frederick Chapman Robbins, dan teman
sekelasnya Thomas H Weller pada tahun 1949 berbudaya
strain virus polio
Langsung di kultur
jaringan embrio, dan mereka menerima Penghargaan
Nobel 1954. Metode mereka membuka
jalan bagi budaya virus lain,
misalnya campak, dan coronavirus yang menyebabkan SARS. Virus masuk
melalui mulut dan hidung, mengalikan
di tenggorokan dan saluran pencernaan, dan menyebar melalui darah dan
sistem limfatik. Inkubasi 5-35 hari. Karena
epidemi terus dan
isolasi dan karantina terbukti
sangat tidak efektif, upaya untuk
mengembangkan vaksin polio adalah
untuk membuktikan tindakan pencegahan
penting. Pada tahun 1955 Jonas Salk mengembangkan
vaksin virus polio
yang tidak aktif, sehingga imunisasi mulai
dilakukan dan pada tahun 1960 Albert Sabin
mengembangkan vaksin. Hasilnya sangat mengesankan. Sejak saat itu, jumlah kasus polio
menurun tajam .
World Health Assembly (WHA) (1988),
suatu badan tertinggi di organisasi kesehatan dunia (WHO), telah mengeluarkan
resolusi untuk membasmi penyakit polio dari dunia ini sebelum tahun 2000 karena
polio merupakan salah satu dari beberapa penyakit yang dapat dibasmi. Strategi
untuk membasmi polio didasarkan atas pemikiran bahwa virus polio akan mati bila
ia disingkirkan dari tubuh manusia dengan cara pemberian imunisasi polio.
Strategi yang sama telah digunakan untuk membasmi penyakit cacar pada tahun
1977 dan penyakit cacar tersebut telah berhasil dibasmi (Depkes RI, 2007).
Kasus polio telah menurun lebih dari
99% sejak tahun 1988, dari 350.000 kasus,
diperkirakan lebih dari 125 negara endemik. Kemudian pada tahun 2010
dilaporkan jumlah kasus polio sebesar 1349 kasus. Secara keseluruhan, sejak
Global Polio Eradication Initiative diluncurkan, jumlah kasus telah menurun
lebih dari 99%. Pada tahun 2011, hanya empat negara di dunia tetap endemik
polio. Persistent kantong penularan polio di Nigeria utara dan di sepanjang
perbatasan antara Afghanistan dan Pakistan adalah tantangan epidemiologi. Pada
tahun 1994, Menurut WHO wilayah Amerika (36 negara) telah disertifikasi bebas
polio, diikuti oleh wilayah Pasifik Barat (37 negara dan daerah termasuk Cina),
pada tahun 2000 dan Wilayah Eropa (51
negara) pada bulan Juni 2002. Pada tahun 2010, Wilayah Eropa menderita impor
pertama polio setelah sertifikasi. Pada tahun 2011, WHO Kawasan Pasifik Barat
juga mengalami impor virus polio.
Di Indonesia sekarang mewakili satu per lima dari seluruh penderita polio
secara global, Kalau tidak dihentikan segera, virus ini akan segera tersebar ke
seluruh pelosok negeri dan bahkan ke Negara-negara tetangga terutama daerah
yang angka cakupan imunisasinya masih rendah. Selain itu juga Indonesia
merupakan Negara ke-16 yang dijangkiti kembali virus tersebut. Banyak pihak khawatir tingginya kasus polio di Indonesia akan menjadikan
Indonesia menjadi pengekspor virus ke Negara-negara lain, khususnya di Asia Timur.
Wabah polio yang terjadi di Indonesia dapat dipandang sebagai sebuah krisis kesehatan
dengan implikasi global.
BAB II
PENGERTIAN
A. Defenisi
Poliomyelitis
Penyakit
polio atau yang dalam istilah kedokteran disebut dengan poliomyelitis adalah
suatu infeksi virus yang sangat menular, yang menyerang seluruh tubuh (termasuk
otot dan saraf) dan bisa menyebabkan kelemahan otot yang sifatnya permanen,
kelumpuhan atau kematian disebabkan oleh
poliovirus (PV).
Penyakit ini menyerang pada setiap orang tanpa
mengenal usia, namun 50% kasusnya terjadi pada anak berusia antara 3-5 tahun.
Virus ini dapat memasuki aliran darah
dan mengalir ke sistem saraf pusat
menyebabkan melemahnya otot
dan kadang kelumpuhan (paralisis).
B. Etiologi
Penyakit Polio
disebabkan oleh infeksi polio virus yang berasal dari kelompok Enterovirus dan
family Picorna viridae. Jenis virus ini sangat tahan terhadap alkohol dan
lisol, namun peka terhadap formaldehide dan larutan klor. Virus ini bisa mati
dalam suhu yang tinggi namun bisa bertahan hidup selama bertahun - tahun dalam
keadaan beku. Penyakit polio ini termasuk penyakit yang menular. Ada tiga tipe virus, yang pertama strain 1
(brunhilde), strain 2 (lanzig), dan strain 3 (leon). Strain 1 (brunhilde)
paling ganas, dan sering menyebabkan wabah. Sedangkan strain 2 (lanzig) yang
paling jinak. Virus ini menular melalui kotoran(feses) atau sekret
tenggorokan orang yang terinfeksi.
C.
Masa Inkubasi dan Masa Penularan
Masa inkubasi polio biasanya
7-14 hari dengan rentang 3-35 hari. Manusia merupakan satu-satunya reservoir
dan merupakan sumber penularan. Pada
akhir inkubasi dan masa awal gejala, para penderita polio sangat poten untuk
menularkan penyakit. Setelah terpakjan dari penderita, virus polio dapat
ditemukan pada secret tenggorokan 36 jam kemudian dan masih bisa ditemukan
sampai satu minggu, serta pada tinja dalam waktu 72 jam sampai 3-6 minggu.
D. Cara Penularan
Penyakit polio menular melalui kontak
antar manusia. Virus masuk ke dalam tubuh melalui mulut ketika seseorang
memakan makanan atau minuman yang terkontaminasi tinja penderita penyakit
polio, atau bisa juga dari air liur penderita penyakit polio. Kemudian virus
menginfeksi bagian usus yang kemudian memasuki aliran darah dan mengalir ke
sistem saraf pusat sehingga bisa menyebabkan melemahnya otot serta terkadang
menyebabkan kelumpuhan.
E. Diagnosis
Penyakit polio dapat didiagnosis
dengan 3 cara yaitu :
1. Viral Isolation, Poliovirus dapat
dideteksi dari faring pada seseorang yang diduga terkena penyakit polio.
Pengisolasian virus diambil dari cairan cerebrospinal adalah diagnostik yang
jarang mendapatkan hasil yang akurat. Jika poliovirus terisolasi dari seseorang
dengan kelumpuhan yang akut, orang tersebut harus diuji lebih lanjut
menggunakan uji oligonucleotide atau pemetaan genomic untuk menentukan apakah
virus polio tersebut bersifat ganas atau lemah.
2. Uji Serology, dilakukan dengan
mengambil sampel darah dari penderita. Jika pada darah ditemukan zat antibody
polio maka diagnosis bahwa orang tersebut terkena polio adalah benar. Akan
tetapi zat antibody tersebut tampak netral dan dapat menjadi aktif pada saat
pasien tersebut sakit.
3. Cerebrospinal Fluid (CSF), di dalam
infeksi poliovirus pada umumnya terdapat peningkatan jumlah sel darah putih
yaitu 10-200 sel/mm3 terutama adalah sel limfositnya. Dan kehilangan protein
sebanyak 40-50 mg/100 ml ( Paul, 2004 ).
F. Pengobatan
Sejauh ini belum ditemukan obat spesifik
yang dapat membunuh virus polio. Anak yang terinfeksi virus polio dan belum
pernah melakukan imunisasi, maka diberikan globulin gamma. Penderita polio juga
bisa diberikan obat penahan rasa sakit dan obat pengurang rasa nyeri, seperti
aspirin atau obat golongan astominofen dan kejang otot. Kejang dan nyeri otot
juga bisa dikurangi dengan kompres hangat. Sedangkan penggunaan vaksin yang ada
hanya untuk mencegah dan mengurangi rasa sakit pada penderita.
Selain
itu Pengobatan ditujukan untuk meredakan gejala dan pengobatan suportif untuk
meningkatkan stamina penderita. Perlu diberikan pelayanan fisioterapi untuk
meminimalkan kelumpuhan dan menjaga agar tidak terjadi atrofi otot. Perawatan
ortopedik tersedia bagi mereka yang mengalami kelumpuhan menetap.
BAB III
TUJUAN SURVEILANS EPIDEMIOLOGI
POLIOMYLITIS
A. Tujuan Surveilans
1.
Mengidentifikasi
daerah berisiko transmisi virus-polio liar.
2.
Memantau
perkembangan program eradikasi polio.
3.
Membuktikan
Indonesia bebas polio.
B. Sasaran
1.
Semua
Orang yang berisiko terkena polio
2.
Memantau
daerah yang berisiko tertular
3.
Orang
yang melakukan kontak langsung dengan penderita
4.
Tenaga
kesehatan
BAB IV
LANGKAH PELAKSANAAN
Acute Flaccyd Paralysis
(AFP) merupakan gejala awal dari penyakit Polio. Surveilans kasus lumpuh layuh
akut (AFP) merupakan salah satu strategi dari eradikasi polio, yaitu melakukan
pengamatan terus-menerus secara sistematis terhadap setiap kasus AFP.
Tujuannya, untuk mendeteksi kemungkinan keberadaan virus polio liar di suatu wilayah,
sehingga dapat dilakukan mopping up atau upaya khusus untuk memutus transmisi
virus polio liar agar tidak menyebar ke wilayah yang lebih luas.
A.
Strategi Surveilans AFP
1. Menemukan kasus AFP minimal
2/100.000 penduduk < 15 tahun
2. Upaya penemuan : di Rumah Sakit di
Puskesmas dan Masyarakat
3. Pemeriksaan Klinis dan
Laboratorium
4. Keterlibatan ahli
5. Pemeriksaan Ulang 60 hari
6. Zero Reporting
B.
Kegiatan Surveilans AFP
1.
Penemuan kasus
a.
Minimal
Kasus 2/100.000 anak dibawah 15 tahun
b.
Strategi
: Surveilans Aktif Rumah Sakit (HBS) dan Surveilans Aktif Masyarakat (CBS).
1)
Surveilans Aktif Rumah Sakit
a) Dilakukan di semua Rumah Sakit yang
merawat anak < 15 tahun
b) Pelaksana : Petugas Surveilan Kabupaten/
Kota dan Kontak person di RS
c) Frekuensi : Setiap minggu bagi petugas
kabupaten/ kota dan setiap hari bagi kontak person.
d) Persiapan pelaksanaan : Identifikasi
Rumah Sakit, Pendekatan kepada pihak Rumah Sakit, Bersama Rumah Sakit
identifikasi unit perawatan di Rumah Sakit bersangkutan, Bersama Rumah Sakit tentukan
contact person, Bersama Rumah Sakit identifikasi sumber data, Menyediakan bahan-bahan
informasi, buat daftar nomor telepon penting,
dan memberikan Sosialisasi ke petugas Rumah Sakit.
2)
Pelaksanaan
Surveilans Aktif Rumah Sakit yang dilakukan oleh Petugas Kabupaten :
a) Kumpulkan data secara aktif
b)
1
Minggu sekali melakukan kunjungan ke Rumah Sakit bersama contact person dan bubuhkan
tanda tangan di register
c)
Catat
data kasus dalam formulir FP-PD jika ada kasus, tulis nihil jika tidak ada
d)
Diskusikan
tentang temuan SAFP
e)
Buat
absensi pelaksanaan Surveilans Aktif Rumah Sakit dalam bentuk “kelengkapan
laporan mingguan Rumah Sakit”
f)
Setiap
bulan kompilasi data kasus AFP, Campak, TN dan Difteri dalam format integrasi
Pelaksana
3)
Pelaksanaan
Surveilans Aktif oleh contact person :
a)
Surveilans
aktif dilakukan setiap hari, berkoordinasi dengan contact person
diruangan
b)
Diskusikan
tentang hasil temuan
c)
Segera
lapor < 24 jam ke Dinkes kabupaten/ kota apabila menemukan kasus AFP
4)
Pelaksanaan
Surveilans AFP di Masyarakat/ CBS
a)
Peran
Dinkes Kab./ Kota : Jelaskan Strategi CBS dan peran PKM dalam SAFP, Koordinasi
pelaksanaan SAFP di PKM, Menyiapkan bahan-bahan Densiminasi informasi, Melatih
petugas PKM dalam pelaksanaan SAFP
b)
Peran
Puskesmas : Menemukan kasus (PKM, Pustu, Poliklinik desa dan klinik swasta),
Menemukan kasus dan menyebarluaskan informasi (kader, pengobatan tradisional,
PKK pesantren, TOMA dll.
c)
Sebar
luas info ke masyarakat (poster, leaflet, pengenalan kasus kelumpuhan dan
melaporkan lke PKM/ RS dan petugas kesehatn)
d)
Pelacakan
kasus (< 24 jam)
e)
Lapor
ke Dinkes setipa kasus AFP < 24 jam
f)
Melakukan
pelacakan bersama Dinas Kesehatan
g)
Mengamankan
spesimen sebelum dikirim (kontrol suhu)
h)
Mengirimkan
laporan mingguan W2 ke Dinkes
2.
Pelacakan Kasus
a.
Tujuan
1)
Memastikan
kasus benar-benar AFP
2)
Mengumpulkan
data epid
3)
Ambil
Spesimen
4)
Cari
kasus tambahan
5)
Memastikan
ada/ tidaknya sisa kelumpuhan pada KU 60 hari
6)
Mengumpulkan
resume medik/ pemriksaan penunjang lainnya
7)
Tim
Pelacak : Tim surveilans .Kabupaten/ kota. Puskesmas atau petugas surveilans
provinsi yang sudah terlatih
b.
Prosedur
pelacakan
1)
Isi
format pelacakan (FP1)
2)
Kumpulkan
2 Spesimen Tinja, yang kelumpuhannya < 2 bulan
3)
Upayakan
setiap kasus AFP mendapat perawatan medis
4)
Mencari
kasus tambahan (tanyakan : orang tua, TOMA, Kader, guru dll)
5)
Lakukan
follow up (Kunjungan ulang) 60 hari terhadap kasus dengan spesimen tidak
adekuat dan hasil lab positif virus polio vaksin
3.
Pengumpulan Spesimen
a.
Pengumpulan Spesimen
1)
Bila
Kelumpuhan terjadi <= 2 bulan saat ditemukan : Isi formulir FP1, Kumpulkan 2
Spesimen Tinja
2)
Bila
Kelumpuhan terjadi > 2 bulan saat ditemukan : Isi formulir FP1, Tidak perlu
ambil spesimen, Membuat resume medi
b.
Pengumpulan Spesimen Tinja
1)
Perlengkapan
pengumpulan spesimen
2)
Prosedur
pengumpulan Spesimen
3)
Pengiriman
Spesimen ke laboratorium
4)
Prosedur
Pengiriman Spesimen
5)
Spesimen
Adekuat
4.
Hot Case
3 Kategori :
a. Spesimen tidak adekuat, usai < 5
tahun, demam, kelumpuhan tidak simetris
b. spesimen tidak adekuat & dokter
mendiagnosis poliomyelitis
c. spesimen tidak Adekuat & Cluster
Cluster : 2 kasus atau lebih, satu wilayah, beda waktu kelumpuhan
tidak lebih dari 1 bulan).
Kontak : usia < 5 thn, berinteraksi dengan kasus sejak
kelumpuhan sampai 3 bulan kedapan).
5.
Survey Status Imunisasi Polio
Dilakukan pada kasus AFP usia 6
bulan – 5 tahun dengan status imunisasi polio < 4 kali terhadap 20-50 anak
usai balita di sekitar rumah penderita.
Target : Kasus AFP usia 6 bulan – 5 tahun
dengan status OPV < 4 dosis
Tujuan : Untuk mengetahui alasan balita tidak mendapat imunisasi
Survey: balita di desa yang sama atau desa
dekat dengan penderita hasil survey
diinformasikan kepada Program Imunisasi.
6.
Nomor Epid
Nomor Epid Kasus AFP diberikan oleh
petugas surveilans kabupaten. Nomor EPID diberikan berdasarkan dimana anak atau
pasien berdomisili selama satu bulan sebelum kelumpuhan. Bila kasus ditemukan
di fasilitas kesehatan di kabupaten lain, harus diusahakan untuk mendapatkan
nomor EPID yang benar dari kabupaten dimana penderita berdomisili selama satu
bulan sebelum kelumpuhan. Bila nomor EPID yang benar belum bisa ditentukan
sebelum spesimen dikirim ke lab, FP1 tetap harus dikirim tanpa nomor EPID atau
menggunakan nomor EPID sementara, misalnya : 120111XXX . Selanjutnya menjadi
tanggung jawab kabupaten yang mengisi FP1 untuk mencari nomor EPID yang benar
dan memberitahu propinsi, lab dan surveilans AFP pusat dalam waktu 72 jam sejak
pelacakan. Daftar nomor EPID harus disimpan di kabupaten. Sekali suatu nomor
dipakai nomor tersebut tidak boleh dipakai lagi. (lihat kartu kendali No.
Epid). Bila suatu nomor EPID sudah digunakan dan salah diberikan, nomor tersebut
tidak boleh dipakai lagi.
7.
Nomor Laboratorium Kasus AFP dan
Kontak
Penetapan
Nomor Epid
Kasus :
PP-DD-TT-NNN
PP :
Kode Propinsi
DD :
Kode Kabupaten/Kota
TT :
Tahun Kelumpuhan
NNN :
Kode Penderita
Kontak : C1/PP-DD-TT-NNN
8.
Kunjungan Ulang (KU) 60 Hari
a.
Bila
Spesimen tidak adekuat
b.
Hasil
lab. Virus polio vaksin
c.
Bertujuan
untuk melihat sisa kelumpuhan 2 kemungkinan : Tidak ada sisa kelumpuhan ; Ada
sisa kelumpuhan (perlu pemeriksaan lanjutan oleh DSA/ DSS/ dokter umum dan buat
resume medis).
d.
Bila
kasus tidak dapat di KU 60 hari (meninggal, pindah alamat, menolak dll) tetap
dilengkapi formulir KU 60 Hari dengan mencatumkan alasannya
9.
Umpan Balik dan Penyebarluasan
Informasi
Alur Pelaporan,
Umpan Balik dan Penyebarluasan Informasi dilakukan oleh Puskesmas Dinkes Kabupaten/ Kota Dinkes
Provinsi Kementerian Kesehatan.
![]() |


BAB
V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Poliomielitis
atau polio adalah penyakit paralisis atau lumpuh yang disebabkan oleh virus
yang dinamakan poliovirus (PV). Penyebab polio adalah virus, ada tiga tipe
virus polio yaitu: Strain 1 (Brunhilde), Strain 2 (Lanzig) dan Strain 3 (Leon).
2. Masa inkubasi polio biasanya 7-14
hari dengan rentang 3-35 hari.
3. Virus
polio menyebar melalui saluran pencernaan, dimulai dari mulut, tenggorokan, dan
saluran bagian pencernaan bagian bawah.
4. Penyakit
polio dapat didiagnosis dengan 3 cara yaitu : Viral Isolation, Uji Serology dan
Cerebrospinal Fluid ( CSF).
5.
Penatalaksanaan Surveilans polio
dinamakan SAFP (Surveilans Acute Flaccyd Paralysis ) yaitu melakukan pengamatan
terus-menerus secara sistematis terhadap setiap kasus AFP. Tujuannya, untuk
mendeteksi kemungkinan keberadaan virus polio liar di suatu wilayah, sehingga
dapat dilakukan mopping up atau upaya khusus untuk memutus transmisi virus
polio liar agar tidak menyebar ke wilayah yang lebih luas.
B. Saran
1. Meningkatkan
kesadaran dan kepedulian masyarakat dalam menjaga kesehatan mereka.
2. Meningkatkan kemauan kesadaran pemerintah
mengatasi masalah kesehatan lebih sungguh-sungguh lagi. Sejauh ini kesehatan
belum menjadi prioritas penting dalam pembangunan nasional.
3. Jagalah makanan ataupun minuman yang akan
dikonsumsi karena hal ini sangat penting dimana makanan atau minuman menjadi
tempat perantara penyebaran penyakit poliomielitis.
4. Untuk
pencegahannya yaitu diberikan vaksin polio idealnya pada anak-anak agar dapat diantisipasi
penyakit poliomielitis ini.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Ditjen.
2007. Pedoman Surveilans Acute Flaccid Paralysis (Surveilans APF). Jakarta
2.
J.
M. S. Peace. Poliomyelitis (Heine-Medin Disease). Journal of Neurology,
Neurosurgery & Psychiatry
3.
M. Kew, 2010. From Emergence To
Eradication The Epidemiology Of Poliomyelitis Deconstructed. American Journal of Epidemiology.
4.
Muhammad
Yasir, 2011. Catatan Epidemiologi Surveilans AFP.
5.
Muhammad
Yusuf, et al, 2007. Analisis Karateristik Ibu dan Strategi Pelaksanaan
Imunisasi Dengan Imunisasi Polio Di Kabupaten Bireun Tahun 2007. Diakses 15
Januari 2015
6. Nidia
H D Jesus, 2007. Epidemics To Eradication : The Modern History Of
Poliomyelitis. Virologi Jurnal.
7. Utami, Antonia Retno Tyas. 2006. Hubungan Ketepatan Flaccid Paralysis Dengan Hasil
Pemeriksaan Virus Polio Spesimen Tinja Di Kabupaten Lebak, Serang, dan
Sukabumi, tahun 2005, (Tesis). Program Pascasarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia,
Depok. Diakses 15 Januari 2015.
8.
WHO.
2003. Guide For Envirommental Surveillance Of Poliovirus Circulation.Geneva
9. Widoyono, 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi,
Penularan, Pencegahan dan Pemberantasannya. Jakarta. Penerbit Erlangga.
10.
Yuwono, Djoko.
1992. Menuju Bebas Polio Tahun 2000 Di Indonesia. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan. Depkes RI. Jakarta. Diakses 15 Januari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar