Minggu, 22 November 2015

Surveilans Poliomyelitis

POLIOMYELITIS



Disusun Oleh :

SARAH FEBRIANA ELEUJAAN 1110118




BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang   
Poliomyelitis berasal dari kata Yunani, polio berarti abu-abu, yang myelon yang bersifat saraf perifer, sering juga disebut paralis infatil. Poliomielitis atau sering disebut polio. Sejarah penyakit ini diketahui dengan ditemukannya gambaran seorang anak yang berjalan dengan tongkat dimana sebalah kiri mengecil pada lukisan artefak Mesir Kuno tahun 1403-1365 sebelum masehi. Polio adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus polio yang dapat mengakibatkan terjadinya kelumpuhan yang permanen. Gejala awal dari penyakit ini biasanya terjadi selama 1-4 hari, yang kemudian menghilang. Gejala lain yang bisa muncul adalah nyeri tenggorokan, rasa tidak enak di perut, demam ringan, lemas, dan nyeri kepala ringan. Gejala klinis yang mengarahkan pada kecurigaan serangan virus polio adalah adanya demam dan kelumpuhan akut. Kaki biasanya lemas tanpa gangguan saraf perasa. Kelumpuhan biasanya terjadi pada tungkai bawah, asimetris, dan dapat menetap selamanya yang bisa disertai gejala nyeri kepala dan muntah. Biasanya terdapat kekakuan pada leher dan punggung setelah 24 jam. Kelumpuhan sifatnya mendadak dan layuh, sehingga sering dihubungkan dengan lumpuh layuh akut (AFP, acute flaccid paralysis), biasanya menyerang satu tungkai, lemas sampai tidak ada gerakan. Otot bisa mengecil, reflex fisiologi dan reflex patologis negative.
Penyakit polio pertama terjadi di Eropa pada abad ke-18, dan menyebar ke Amerika Serikat beberapa tahun kemudian. Penyakit polio juga menyebar ke negara maju belahan bumi utara yang bermusim panas. Polio tersebar di seluruh dunia terutama di Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Afrika. Bayi dan anak adalah golongan usia yang sering terserang polio. Penderita polio sebanyak 70-80% di daerah endemik adalah anak berusia kurang dari 3 tahun, dan 80-90% adalah balita. Kelompok yang rentan tertular adalah anak yang tidak di imunisasi, kelompok minoritas, para pendatang musiman, dan anak-anak yang tidak terdaftar. 
Pada abad ke 20 melihat kemajuan substansial, Otto Wickman (1905) pertama kali mengakui bahwa poliomyelitis adalah penyakit menular. Pada penemuan selanjutnya tahun 1909 Landsteiner dan Popper membuktikan penyakit poliomyelitis menular ke monyet, dan Satu tahun kemudian Flexner dan Lewis menunjukkan bahwa antibodi polio serum dapat menyembuhkan monyet, selanjutnya Netter dengan Levaditi menunjukkan antibodi pada manusia. Di Boston, John Franklin Enders, Frederick Chapman Robbins, dan teman sekelasnya Thomas H Weller pada tahun 1949 berbudaya strain virus polio Langsung di kultur jaringan embrio, dan mereka menerima Penghargaan Nobel 1954. Metode mereka membuka jalan bagi budaya virus lain, misalnya campak, dan coronavirus yang menyebabkan SARS. Virus masuk melalui mulut dan hidung, mengalikan di tenggorokan dan saluran pencernaan, dan menyebar melalui darah dan sistem limfatik. Inkubasi 5-35 hari. Karena epidemi terus dan isolasi dan karantina terbukti sangat tidak efektif, upaya untuk mengembangkan vaksin polio adalah untuk membuktikan tindakan pencegahan penting. Pada tahun 1955 Jonas Salk mengembangkan vaksin virus polio yang tidak aktif, sehingga imunisasi mulai dilakukan dan pada tahun 1960 Albert Sabin mengembangkan vaksin. Hasilnya sangat mengesankan. Sejak saat itu, jumlah kasus polio menurun tajam .
World Health Assembly (WHA) (1988), suatu badan tertinggi di organisasi kesehatan dunia (WHO), telah mengeluarkan resolusi untuk membasmi penyakit polio dari dunia ini sebelum tahun 2000 karena polio merupakan salah satu dari beberapa penyakit yang dapat dibasmi. Strategi untuk membasmi polio didasarkan atas pemikiran bahwa virus polio akan mati bila ia disingkirkan dari tubuh manusia dengan cara pemberian imunisasi polio. Strategi yang sama telah digunakan untuk membasmi penyakit cacar pada tahun 1977 dan penyakit cacar tersebut telah berhasil dibasmi (Depkes RI, 2007).
Kasus polio telah menurun lebih dari 99% sejak tahun 1988, dari 350.000 kasus,  diperkirakan lebih dari 125 negara endemik. Kemudian pada tahun 2010 dilaporkan jumlah kasus polio sebesar 1349 kasus. Secara keseluruhan, sejak Global Polio Eradication Initiative diluncurkan, jumlah kasus telah menurun lebih dari 99%. Pada tahun 2011, hanya empat negara di dunia tetap endemik polio. Persistent kantong penularan polio di Nigeria utara dan di sepanjang perbatasan antara Afghanistan dan Pakistan adalah tantangan epidemiologi. Pada tahun 1994, Menurut WHO wilayah Amerika (36 negara) telah disertifikasi bebas polio, diikuti oleh wilayah Pasifik Barat (37 negara dan daerah termasuk Cina), pada tahun 2000 dan  Wilayah Eropa (51 negara) pada bulan Juni 2002. Pada tahun 2010, Wilayah Eropa menderita impor pertama polio setelah sertifikasi. Pada tahun 2011, WHO Kawasan Pasifik Barat juga mengalami impor virus polio.
Di Indonesia sekarang mewakili satu per lima dari seluruh penderita polio secara global, Kalau tidak dihentikan segera, virus ini akan segera tersebar ke seluruh pelosok negeri dan bahkan ke Negara-negara tetangga terutama daerah yang angka cakupan imunisasinya masih rendah. Selain itu juga Indonesia merupakan Negara ke-16 yang dijangkiti kembali virus tersebut. Banyak pihak khawatir tingginya kasus polio di Indonesia akan menjadikan Indonesia menjadi pengekspor virus ke Negara-negara lain, khususnya di Asia Timur. Wabah polio yang terjadi di Indonesia dapat dipandang sebagai sebuah krisis kesehatan dengan implikasi global.

BAB II
PENGERTIAN

A. Defenisi Poliomyelitis
      Penyakit polio atau yang dalam istilah kedokteran disebut dengan poliomyelitis adalah suatu infeksi virus yang sangat menular, yang menyerang seluruh tubuh (termasuk otot dan saraf) dan bisa menyebabkan kelemahan otot yang sifatnya permanen, kelumpuhan atau kematian  disebabkan oleh poliovirus (PV).
Penyakit ini menyerang pada setiap orang tanpa mengenal usia, namun 50% kasusnya terjadi pada anak berusia antara 3-5 tahun. Virus ini dapat memasuki aliran darah dan mengalir ke sistem saraf pusat menyebabkan melemahnya otot dan kadang kelumpuhan (paralisis).

B. Etiologi
                Penyakit Polio disebabkan oleh infeksi polio virus yang berasal dari kelompok Enterovirus dan family Picorna viridae. Jenis virus ini sangat tahan terhadap alkohol dan lisol, namun peka terhadap formaldehide dan larutan klor. Virus ini bisa mati dalam suhu yang tinggi namun bisa bertahan hidup selama bertahun - tahun dalam keadaan beku. Penyakit polio ini termasuk penyakit yang menular.  Ada tiga tipe virus, yang pertama strain 1 (brunhilde), strain 2 (lanzig), dan strain 3 (leon). Strain 1 (brunhilde) paling ganas, dan sering menyebabkan wabah. Sedangkan strain 2 (lanzig) yang paling jinak.  Virus ini menular melalui kotoran(feses) atau sekret tenggorokan orang yang terinfeksi.

C. Masa Inkubasi dan Masa Penularan
                Masa inkubasi polio biasanya 7-14 hari dengan rentang 3-35 hari. Manusia merupakan satu-satunya reservoir dan merupakan sumber penularan.  Pada akhir inkubasi dan masa awal gejala, para penderita polio sangat poten untuk menularkan penyakit. Setelah terpakjan dari penderita, virus polio dapat ditemukan pada secret tenggorokan 36 jam kemudian dan masih bisa ditemukan sampai satu minggu, serta pada tinja dalam waktu 72 jam sampai 3-6 minggu.

D. Cara Penularan
Penyakit polio menular melalui kontak antar manusia. Virus masuk ke dalam tubuh melalui mulut ketika seseorang memakan makanan atau minuman yang terkontaminasi tinja penderita penyakit polio, atau bisa juga dari air liur penderita penyakit polio. Kemudian virus menginfeksi bagian usus yang kemudian memasuki aliran darah dan mengalir ke sistem saraf pusat sehingga bisa menyebabkan melemahnya otot serta terkadang menyebabkan kelumpuhan.
E. Diagnosis
Penyakit polio dapat didiagnosis dengan 3 cara yaitu :
1.      Viral Isolation, Poliovirus dapat dideteksi dari faring pada seseorang yang diduga terkena penyakit polio. Pengisolasian virus diambil dari cairan cerebrospinal adalah diagnostik yang jarang mendapatkan hasil yang akurat. Jika poliovirus terisolasi dari seseorang dengan kelumpuhan yang akut, orang tersebut harus diuji lebih lanjut menggunakan uji oligonucleotide atau pemetaan genomic untuk menentukan apakah virus polio tersebut bersifat ganas atau lemah.
2.      Uji Serology, dilakukan dengan mengambil sampel darah dari penderita. Jika pada darah ditemukan zat antibody polio maka diagnosis bahwa orang tersebut terkena polio adalah benar. Akan tetapi zat antibody tersebut tampak netral dan dapat menjadi aktif pada saat pasien tersebut sakit.
3.      Cerebrospinal Fluid (CSF), di dalam infeksi poliovirus pada umumnya terdapat peningkatan jumlah sel darah putih yaitu 10-200 sel/mm3 terutama adalah sel limfositnya. Dan kehilangan protein sebanyak 40-50 mg/100 ml ( Paul, 2004 ).
F. Pengobatan
Sejauh ini belum ditemukan obat spesifik yang dapat membunuh virus polio. Anak yang terinfeksi virus polio dan belum pernah melakukan imunisasi, maka diberikan globulin gamma. Penderita polio juga bisa diberikan obat penahan rasa sakit dan obat pengurang rasa nyeri, seperti aspirin atau obat golongan astominofen dan kejang otot. Kejang dan nyeri otot juga bisa dikurangi dengan kompres hangat. Sedangkan penggunaan vaksin yang ada hanya untuk mencegah dan mengurangi rasa sakit pada penderita.
Selain itu Pengobatan ditujukan untuk meredakan gejala dan pengobatan suportif untuk meningkatkan stamina penderita. Perlu diberikan pelayanan fisioterapi untuk meminimalkan kelumpuhan dan menjaga agar tidak terjadi atrofi otot. Perawatan ortopedik tersedia bagi mereka yang mengalami kelumpuhan menetap.


BAB III
TUJUAN SURVEILANS EPIDEMIOLOGI POLIOMYLITIS

A. Tujuan Surveilans
1.      Mengidentifikasi daerah berisiko transmisi virus-polio liar.
2.      Memantau perkembangan program eradikasi polio.
3.      Membuktikan Indonesia bebas polio.
B. Sasaran
1.      Semua Orang yang berisiko terkena polio
2.      Memantau daerah yang berisiko tertular
3.      Orang yang melakukan kontak langsung dengan penderita
4.      Tenaga kesehatan











BAB IV
LANGKAH PELAKSANAAN

Acute Flaccyd Paralysis (AFP) merupakan gejala awal dari penyakit Polio. Surveilans kasus lumpuh layuh akut (AFP) merupakan salah satu strategi dari eradikasi polio, yaitu melakukan pengamatan terus-menerus secara sistematis terhadap setiap kasus AFP. Tujuannya, untuk mendeteksi kemungkinan keberadaan virus polio liar di suatu wilayah, sehingga dapat dilakukan mopping up atau upaya khusus untuk memutus transmisi virus polio liar agar tidak menyebar ke wilayah yang lebih luas.

A. Strategi Surveilans AFP
1.      Menemukan kasus AFP minimal 2/100.000 penduduk < 15 tahun 
2.      Upaya penemuan : di Rumah Sakit di Puskesmas dan Masyarakat 
3.      Pemeriksaan Klinis dan Laboratorium 
4.      Keterlibatan ahli 
5.      Pemeriksaan Ulang 60 hari 
6.      Zero Reporting 

B. Kegiatan Surveilans AFP
1.      Penemuan kasus 
a.       Minimal Kasus 2/100.000 anak dibawah 15 tahun
b.      Strategi : Surveilans Aktif Rumah Sakit (HBS) dan Surveilans Aktif Masyarakat (CBS).
1)   Surveilans Aktif Rumah Sakit
a)      Dilakukan di semua Rumah Sakit yang merawat anak < 15 tahun 
b)      Pelaksana : Petugas Surveilan Kabupaten/ Kota dan Kontak person di RS 
c)      Frekuensi : Setiap minggu bagi petugas kabupaten/ kota dan setiap hari bagi kontak person.
d)     Persiapan pelaksanaan : Identifikasi Rumah Sakit, Pendekatan kepada pihak Rumah Sakit, Bersama Rumah Sakit identifikasi unit perawatan di Rumah Sakit bersangkutan, Bersama Rumah Sakit tentukan contact person, Bersama Rumah Sakit identifikasi sumber data, Menyediakan bahan-bahan informasi, buat daftar nomor telepon penting,  dan memberikan Sosialisasi ke petugas Rumah Sakit. 
2)   Pelaksanaan Surveilans Aktif Rumah Sakit yang dilakukan oleh Petugas Kabupaten :
a)      Kumpulkan data secara aktif 
b)      1 Minggu sekali melakukan kunjungan ke Rumah Sakit bersama contact person dan bubuhkan tanda tangan di register
c)      Catat data kasus dalam formulir FP-PD jika ada kasus, tulis nihil jika tidak ada
d)     Diskusikan  tentang temuan SAFP 
e)      Buat absensi pelaksanaan Surveilans Aktif Rumah Sakit dalam bentuk “kelengkapan laporan mingguan Rumah Sakit” 
f)       Setiap bulan kompilasi data kasus AFP, Campak, TN dan Difteri dalam format integrasi Pelaksana 
3)   Pelaksanaan Surveilans Aktif oleh contact person :
a)      Surveilans aktif dilakukan setiap hari, berkoordinasi dengan contact person diruangan 
b)      Diskusikan tentang hasil temuan 
c)      Segera lapor < 24 jam ke Dinkes kabupaten/ kota apabila menemukan kasus AFP 
4)   Pelaksanaan Surveilans AFP di Masyarakat/ CBS
a)      Peran Dinkes Kab./ Kota : Jelaskan Strategi CBS dan peran PKM dalam SAFP, Koordinasi pelaksanaan SAFP di PKM, Menyiapkan bahan-bahan Densiminasi informasi, Melatih petugas PKM dalam pelaksanaan SAFP 
b)      Peran Puskesmas : Menemukan kasus (PKM, Pustu, Poliklinik desa dan klinik swasta), Menemukan kasus dan menyebarluaskan informasi (kader, pengobatan tradisional, PKK pesantren, TOMA dll.
c)      Sebar luas info ke masyarakat (poster, leaflet, pengenalan kasus kelumpuhan dan melaporkan lke PKM/ RS dan petugas kesehatn) 
d)     Pelacakan kasus (< 24 jam) 
e)      Lapor ke Dinkes setipa kasus AFP < 24 jam 
f)       Melakukan pelacakan bersama Dinas Kesehatan
g)      Mengamankan spesimen sebelum dikirim (kontrol suhu) 
h)      Mengirimkan laporan mingguan W2 ke Dinkes 
2.      Pelacakan Kasus 
a.       Tujuan
1)      Memastikan kasus benar-benar AFP 
2)      Mengumpulkan data epid
3)      Ambil Spesimen 
4)      Cari kasus tambahan 
5)      Memastikan ada/ tidaknya sisa kelumpuhan pada KU 60 hari 
6)      Mengumpulkan resume medik/ pemriksaan penunjang lainnya 
7)      Tim Pelacak : Tim surveilans .Kabupaten/ kota. Puskesmas atau petugas surveilans provinsi yang sudah terlatih 
b.      Prosedur pelacakan
1)      Isi format pelacakan (FP1) 
2)      Kumpulkan 2 Spesimen Tinja, yang kelumpuhannya < 2 bulan 
3)      Upayakan setiap kasus AFP mendapat perawatan medis
4)       Mencari kasus tambahan (tanyakan : orang tua, TOMA, Kader, guru dll) 
5)      Lakukan follow up (Kunjungan ulang) 60 hari terhadap kasus dengan spesimen tidak adekuat dan hasil lab positif virus polio vaksin
3.      Pengumpulan Spesimen 
a.       Pengumpulan Spesimen
1)      Bila Kelumpuhan terjadi <= 2 bulan saat ditemukan : Isi formulir FP1, Kumpulkan 2 Spesimen Tinja 
2)      Bila Kelumpuhan terjadi > 2 bulan saat ditemukan : Isi formulir FP1, Tidak perlu ambil spesimen, Membuat resume medi
b.      Pengumpulan Spesimen Tinja
1)      Perlengkapan pengumpulan spesimen
2)      Prosedur pengumpulan Spesimen
3)      Pengiriman Spesimen ke laboratorium
4)      Prosedur Pengiriman Spesimen
5)      Spesimen Adekuat
4.      Hot Case 
3 Kategori :
a.       Spesimen tidak adekuat, usai < 5 tahun, demam, kelumpuhan tidak simetris
b.      spesimen tidak adekuat & dokter mendiagnosis poliomyelitis
c.       spesimen tidak Adekuat & Cluster
Cluster : 2 kasus atau lebih, satu wilayah, beda waktu kelumpuhan tidak lebih dari 1 bulan).
Kontak : usia < 5 thn, berinteraksi dengan kasus sejak kelumpuhan sampai 3 bulan kedapan).
5.      Survey Status Imunisasi Polio 
Dilakukan pada kasus AFP usia 6 bulan – 5 tahun dengan status imunisasi polio < 4 kali terhadap 20-50 anak usai balita di sekitar rumah penderita.
Target : Kasus AFP usia 6 bulan – 5 tahun dengan status OPV < 4 dosis
Tujuan : Untuk mengetahui alasan balita tidak mendapat imunisasi
Survey: balita di desa yang sama atau desa dekat dengan penderita hasil survey diinformasikan kepada Program Imunisasi.
6.      Nomor Epid 
Nomor Epid Kasus AFP diberikan oleh petugas surveilans kabupaten. Nomor EPID diberikan berdasarkan dimana anak atau pasien berdomisili selama satu bulan sebelum kelumpuhan. Bila kasus ditemukan di fasilitas kesehatan di kabupaten lain, harus diusahakan untuk mendapatkan nomor EPID yang benar dari kabupaten dimana penderita berdomisili selama satu bulan sebelum kelumpuhan. Bila nomor EPID yang benar belum bisa ditentukan sebelum spesimen dikirim ke lab, FP1 tetap harus dikirim tanpa nomor EPID atau menggunakan nomor EPID sementara, misalnya : 120111XXX . Selanjutnya menjadi tanggung jawab kabupaten yang mengisi FP1 untuk mencari nomor EPID yang benar dan memberitahu propinsi, lab dan surveilans AFP pusat dalam waktu 72 jam sejak pelacakan. Daftar nomor EPID harus disimpan di kabupaten. Sekali suatu nomor dipakai nomor tersebut tidak boleh dipakai lagi. (lihat kartu kendali No. Epid). Bila suatu nomor EPID sudah digunakan dan salah diberikan, nomor tersebut tidak boleh dipakai lagi.
7.      Nomor Laboratorium Kasus AFP dan Kontak 
Penetapan Nomor Epid 
Kasus :           PP-DD-TT-NNN
PP        :           Kode Propinsi
DD      :           Kode Kabupaten/Kota
TT        :           Tahun Kelumpuhan
NNN   :           Kode Penderita
Kontak :          C1/PP-DD-TT-NNN
8.      Kunjungan Ulang (KU) 60 Hari 
a.       Bila Spesimen tidak adekuat 
b.      Hasil lab. Virus polio vaksin 
c.       Bertujuan untuk melihat sisa kelumpuhan 2 kemungkinan : Tidak ada sisa kelumpuhan ; Ada sisa kelumpuhan (perlu pemeriksaan lanjutan oleh DSA/ DSS/ dokter umum dan buat resume medis). 
d.      Bila kasus tidak dapat di KU 60 hari (meninggal, pindah alamat, menolak dll) tetap dilengkapi formulir KU 60 Hari dengan mencatumkan alasannya 
9.      Umpan Balik dan Penyebarluasan Informasi
Alur Pelaporan, Umpan Balik dan Penyebarluasan Informasi dilakukan oleh Puskesmas Dinkes Kabupaten/ Kota Dinkes Provinsi Kementerian Kesehatan.
 
















                                    : Umpan Balik
: Laporan
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
1.      Poliomielitis atau polio adalah penyakit paralisis atau lumpuh yang disebabkan oleh virus yang dinamakan poliovirus (PV). Penyebab polio adalah virus, ada tiga tipe virus polio yaitu: Strain 1 (Brunhilde), Strain 2 (Lanzig) dan Strain 3 (Leon).
2.      Masa inkubasi polio biasanya 7-14 hari dengan rentang 3-35 hari.
3.      Virus polio menyebar melalui saluran pencernaan, dimulai dari mulut, tenggorokan, dan saluran bagian pencernaan bagian bawah.
4.      Penyakit polio dapat didiagnosis dengan 3 cara yaitu : Viral Isolation, Uji Serology dan Cerebrospinal Fluid ( CSF).
5.      Penatalaksanaan Surveilans polio dinamakan SAFP (Surveilans Acute Flaccyd Paralysis ) yaitu melakukan pengamatan terus-menerus secara sistematis terhadap setiap kasus AFP. Tujuannya, untuk mendeteksi kemungkinan keberadaan virus polio liar di suatu wilayah, sehingga dapat dilakukan mopping up atau upaya khusus untuk memutus transmisi virus polio liar agar tidak menyebar ke wilayah yang lebih luas.
B. Saran
1.      Meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat dalam menjaga kesehatan mereka.
2.       Meningkatkan kemauan kesadaran pemerintah mengatasi masalah kesehatan lebih sungguh-sungguh lagi. Sejauh ini kesehatan belum menjadi prioritas penting dalam pembangunan nasional.
3.       Jagalah makanan ataupun minuman yang akan dikonsumsi karena hal ini sangat penting dimana makanan atau minuman menjadi tempat perantara penyebaran penyakit poliomielitis.
4.      Untuk pencegahannya yaitu diberikan vaksin polio idealnya pada anak-anak agar dapat diantisipasi penyakit poliomielitis ini.













DAFTAR PUSTAKA
1.      Ditjen. 2007. Pedoman Surveilans Acute Flaccid Paralysis (Surveilans APF). Jakarta
2.      J. M. S. Peace. Poliomyelitis (Heine-Medin Disease). Journal of Neurology, Neurosurgery & Psychiatry
3.      M. Kew, 2010. From Emergence To Eradication The Epidemiology Of Poliomyelitis Deconstructed. American Journal of Epidemiology.
4.      Muhammad Yasir, 2011. Catatan Epidemiologi Surveilans AFP.
5.      Muhammad Yusuf, et al, 2007. Analisis Karateristik Ibu dan Strategi Pelaksanaan Imunisasi Dengan  Imunisasi Polio  Di Kabupaten Bireun Tahun 2007. Diakses 15 Januari 2015
6.      Nidia H D Jesus, 2007. Epidemics To Eradication : The Modern History Of Poliomyelitis. Virologi Jurnal.
7.      Utami, Antonia Retno Tyas. 2006. Hubungan Ketepatan  Flaccid Paralysis Dengan Hasil Pemeriksaan  Virus Polio Spesimen  Tinja Di Kabupaten Lebak, Serang, dan Sukabumi, tahun 2005, (Tesis). Program Pascasarjana Fakultas  Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok. Diakses 15 Januari 2015.
8.      WHO. 2003. Guide For Envirommental Surveillance Of Poliovirus Circulation.Geneva
9.      Widoyono, 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasannya. Jakarta. Penerbit Erlangga.
10.  Yuwono, Djoko. 1992. Menuju Bebas Polio Tahun 2000 Di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Depkes RI. Jakarta. Diakses 15 Januari 2015

 









Tidak ada komentar:

Posting Komentar